WE Online, Jakarta - Pemerintah Indonesia terus mendorong pengembangan subsektor hortikultura seperti buah-buahan, sayur, tanaman hias, dan obat masuk ke pasar ekspor dunia. Upaya ini perlu dilakukan mengingat produk pertanian tersebut memiliki potensi jual yang luar biasa.
"Terlebih kita sudah memanfaatkan fasilitas kawasan berikat plasma hortikultura dan pendekatan CSV (create share value)," ujar Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian (Kementan), Prihasto Setyanto dalam Fokus Grup Diskusi yang digelar di Madiun, Selasa (13/8/2019).
Prihasto menjelaskan, pemanfaatan CSV dan kawasan berikat plasma kurang lebihnya telah memberi kemudahan pada masyarakat yang ingin bercocok tanam, meski lahan yang digarap tidak terlalu luas.
Pasalnya, budi daya hortikultura terbukti mampu memberi penghasilan yang relatif tinggi jika dibandingkan dengan menanam komoditas lain. Hanya saja, potensi tersebut masih belum digarap secara optimal.
Menurut dia, pendekatan kawasan berikat plasma hortikultura sudah sejalan dengan grand designKementan yang kini sedang disusun. Maka itu, ke depan, Kementan akan mengembangkan kawasan hortikultura sesuai skala ekonomi, agroklimat, dan luasan lahan.
"Contoh manggis, kalau memang skala ekonominya 400-500 hektare dan sesuai agroklimatnya, maka kami akan berikan bantuan ke satu daerah sebanyak itu, lengkap dengan dukungan lain seperti benih unggul, pengendalian hama penyakit hingga pemasaran," katanya.
Prihasto berharap pola dan tata cara semacam ini bisa meningkatkan nilai jual, penambahan produksi dalam negeri hingga pengiriman ekspor. Apalagi, Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki kualitas produk pertanian terbaik di dunia.
"Dengan begitu, 4-5 tahun ke depan, pasokan untuk ekspor hortikultura kita semakin eksis dan meningkat. Maka itu kita harus optimis dengan kerja keras kita," katanya.
Senada dengan Prihasto, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono mengatakan, pihaknya terus berupaya menghubungkan dan mengoordinasikan kementerian serta lembaga terkait untuk lebih fokus lagi dalam menggarap potensi hortikultura.
"Ekspor hortikultura kita sangat besar, terutama komoditas buah-buahan yang mencapai 55 persen. Tentu kita pilih hortikultura karena dalam kompetisi global terbukti kualitas hortikultura kita lebih unggul," katanya.
Susiwijono mengatakan, selama ini fasilitas yang diberikan untuk kawasan berikat seperti pembebasan fiskal dan non-fiskal lebih banyak dinikmati para pelaku usaha perseroan. Karenanya, ke depan para petani pun harus bisa mendapatkan manfaat yang sama dengan syarat produk yang dihasilkan harus tertuju pada ekspor.
"Petani dimitrakan dengan pelaku usaha yang menjadi off taker. Kita sedang merintis kerja sama dengan 13 kepala daerah yang berkomitmen mengembangkan pola ini. Semua K/L terkait kita minta duduk bersama," katanya.
Deputi Menko Perekonomian Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, Musdalifah Mahmud menekankan pentingnya menjaga produk pertanian hortikultura untuk meningkatkan ekspor dan penyerapan tenaga kerja.
"Meski anggarannya terbilang paling kecil dibanding subsektor lainnya, namun kinerja ekspornya cukup signifikan dibawah perkebunan dan peternakan. Ini yang akan kita pacu," katanya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu, Heru Pambudi menjelaskan bahwa fasilitas kawasan berikat plasma petani bisa mengombinasikan teknologi dan modal perusahaan dengan kepemilikan lahan serta tenaga kerja milik petani.
"Secara tidak langsung petani akan mendapatkan insentif berupa peralatan, bibit, alat teknologi dan pupuk yang disalurkan melalui kawasan berikat tersebut. Dengan demikian petani bisa menikmati pasar global, perusahaan induk juga bisa memenuhi suplai kontrak-kontraknya, pemerintah daerah juga diuntungkan," katanya.
Direktur Government Relations and External Affair PT Great Giant Pineapple (GGP) Lampung, Welly Soegiono mengatakan, pentingnya pemetaan pasar dan kemitraan dalam pengembangan hortikultura nasional.
"Kami di GGP sudah mengembangkan kemitraan berbasis CSV, di mana kami tidak hanya berperan sebagai off taker, tetapi juga melakukan pendampingan bagi petani bersama-sama pihak Kementan mulai dari penanaman, perawatan, panen, pengepakan, distribusi hingga pemasarannya. Kami berikan bibit kepada mereka, panduan budi daya tanamnya, dan supervisi di lapangan. Ini untuk menjamin produk yang dihasilkan petani sesuai standar ekspor," tukasnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu, Heru Pambudi menjelaskan bahwa fasilitas kawasan berikat plasma petani bisa mengombinasikan teknologi dan modal perusahaan dengan kepemilikan lahan serta tenaga kerja milik petani.
"Secara tidak langsung petani akan mendapatkan insentif berupa peralatan, bibit, alat teknologi dan pupuk yang disalurkan melalui kawasan berikat tersebut. Dengan demikian petani bisa menikmati pasar global, perusahaan induk juga bisa memenuhi suplai kontrak-kontraknya, pemerintah daerah juga diuntungkan," katanya.
Direktur Government Relations and External Affair PT Great Giant Pineapple (GGP) Lampung, Welly Soegiono mengatakan, pentingnya pemetaan pasar dan kemitraan dalam pengembangan hortikultura nasional.
"Kami di GGP sudah mengembangkan kemitraan berbasis CSV, di mana kami tidak hanya berperan sebagai off taker, tetapi juga melakukan pendampingan bagi petani bersama-sama pihak Kementan mulai dari penanaman, perawatan, panen, pengepakan, distribusi hingga pemasarannya. Kami berikan bibit kepada mereka, panduan budi daya tanamnya, dan supervisi di lapangan. Ini untuk menjamin produk yang dihasilkan petani sesuai standar ekspor," tukasnya.
Post Comment