WE Online, Jakarta - Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Badan Litbang Pertanian (Balitbangtan) terus melakukan penelitian dan pengembangan padi hibrida sebagai upaya peningkatan produksi. Pengembangan ini dilakukan dengan pemanfaatan teknologi hingga komersialisasi yang menyebar luas di tengah-tengah masyarakat.
Kepala Balitbangtan, Fadjry Djufry menjelaskan bahwa penelitian ini sudah berlangsung sejak 1984, dimana Kementan adalah satu-satunya institusi pemerintah yang fokus pada pengembangan padi mulai dari skala riset hingga bantuan benih.
"Saat ini sudah dilakukan kerja sama dengan pemerintah daerah, perusahaan nasional maupun multinasional untuk melakukan komersialisasi varietas padi hibrida yang telah dilepas secara nasional," kata Fadjry, Kamis (8/8/2019).
Fadjry menjelaskan, beberapa perusahaan yang mengembangkan padi hibrida ini, antara lain PT Petrokimia Gresik yang melisensi Hipa18, PT Bayer Indonesia melisensi Hipa 20 dan PT. Saprotan Benih Utama yang melisensi Hipa12 serta Hipa 14.
"Sejak 2002 hingga 2019, kami telah melepas 21 varietas unggul hibrida yang memiliki potensi produksi 1,5-2 ton per hektare. Padi ini juga memiliki keunggulan tahan hama penyakit dan memiliki mutu bagus. Saat ini kami sedang optimasi teknologi budidaya dan produksi benih F1 hibrida," katanya.
Peneliti BB Padi pada Balitbangtan Kementan, Yudhistira Nugraha, mengatakan bahwa keberhasilan adopsi suatu teknologi yang dilakukan sangat tergantung pada 3 komponen teknis, seperti respon Pasar.
"Sementara kelemahan yang terjadi pada salah satu komponen berimbas pada tingkat adopsi teknolologi tersebut. Tingkat adopsi teknologi padi hibrida masih rendah, yakni di bawah 5 persen pada kurun waktu 2013-2017," katanya.
Adapun rendahnya adopsi padi hibrida di tingkat petani lebih disebabkan oleh beberapa faktor. Di antaranya produksi benih padi memiliki proses rumit, serta produksi benih padi yang melibatkan galur mandul jantan. Proses ini secara alamiah memiliki rendemen benih lebih rendah dibandingkan padi normal, yaitu sekitar 1,5 ton per hektare.
"Oleh karena itu, harga benih padi hibrida lebih mahal dibandingkan dengan benih padi Inbrida. Hal ini menyebabkan terbatasnya ketersediaan benih hibrida di toko pertanian, karena terbatasnya jumlah produsen atau penangkar benih," katanya.
Faktor lain yang juga tak kalah penting adalah soal produktivitas varietas unggul yang memberikan keunggulan heterosis sekitar 10 persen dibandingkan padi inbrida. Padahal pada tingkat penelitian dan pengkajian angkanya bisa mencapai 15-20 persen.
"Capaian heterosis ditingkat petani, jika dihitung pada skala ekonomi petani kecil tidak memberikan dampak yang berarti, namun jika di hitung secara akumulasi nasional kenaikan hasil tersebut akan memberikan kontribusi signifikan terhadap peningkatan produksi padi," katanya.
Faktor berikutnya ialah masih adanya pemahaman yang tidak tepat terhadap padi hibrida, dimana anggapan sebagian orang terkait padi hibrida yang tidak perlu mendapat perlakuan istimewa dan menjadi sumber hama serta penyakit. Nyatanya, padi hibrida dapat ditanam sebagaimana padi Inbrida sesuai dengan rekomendasi dari hasil uji adaptasi yang dilakukan pada saat proses pelepasan varietas.
"Saat ini telah banyak dilepas padi hibrida yang tahan terhadap hama dan penyakit utama padi, karena menjadi persyaratan wajib dari Kementan untuk pelepasan varietas unggul baru," tukasnya.
Untuk diketahui, padi hibrida merupakan salah satu teknologi di bidang pemuliaan tanaman yang dapat digunakan sebagai alternatif peningkatan produktivitas padi nasional melalui Pemanfaatan fenomena heterosis yang terdapat pada turunan pertama (F1).
Benih padi ini memiliki perbedaan dengan inbrida dalam hal genetik, harga benih, dan status biji hasil panen (F2) yang tidak dapat dibudidayakan kembali karena akan mengalami degradasi (penurunan) hasil.
"Saat ini telah banyak dilepas padi hibrida yang tahan terhadap hama dan penyakit utama padi, karena menjadi persyaratan wajib dari Kementan untuk pelepasan varietas unggul baru," tukasnya.
Untuk diketahui, padi hibrida merupakan salah satu teknologi di bidang pemuliaan tanaman yang dapat digunakan sebagai alternatif peningkatan produktivitas padi nasional melalui Pemanfaatan fenomena heterosis yang terdapat pada turunan pertama (F1).
Benih padi ini memiliki perbedaan dengan inbrida dalam hal genetik, harga benih, dan status biji hasil panen (F2) yang tidak dapat dibudidayakan kembali karena akan mengalami degradasi (penurunan) hasil.
Editor: Kumairoh
Foto: Kementan
Post Comment